Andi Muspida : Sekretaris JMSI Sulsel |
Pria renta itu memasuki sebuah gedung pemerintahan berubin keramik dengan diantar cucunya. Dia sedang mengurus sebuah dokumen. Sudah empat jam dia menunggu dan mengantre semenjak pagi. Dia meninggalkan desa pagi-pagi buta tadi. Jaraknya sekira dua jam dengan roda dua berkecepatan sedang.
Sejatinya kantor ini sudah lama mencanangkan pengurusan dokumen secara daring. Ada dua kendala bagi si Bapak tadi. Dia dan cucunya gaptek! Bahkan tak punya gawai. Hanya sebuah ponsel lipat yang setia menemani mereka. Mau tak mau petugas tetap melayani mereka dengan gawai milik kantor. Padahal layanan daring dibuat agar pemohon tak perlu sering ke kantor.
Suatu ketika di sebuah kantor saya melihat seorang memurkai seorang pegawai akibat dokumen kependudukannya tertukar dengan orang lain. Namanya Yanti, sedang dokumen yang dia terima atas nama Anti. Pegawai itu secara tak sengaja memberikan dokumen kependudukan Yanti kepada Anti. Tertukar rupanya.
Pernah pula seseorang bolak-balik sebuah kantor hanya persoalan perbedaan satu huruf pada dokumennya yang tidak pernah tuntas. Kerap pula kita lihat seseorang merasa jumawah jika diantar oleh seorang berambut cepak berseragam loreng. Mungkin dia berharap privilese dengan membawa “pengawal” segala.
Dahulu, ‘the King can do no wrong’, raja tiada pernah salah. Kini, pemerintah selalu saja salah di mata rakyatnya. Memang mereka kini bukan raja, mereka pelayan. Persoalan pelayanan publik telah lama mencuri perhatian para akademisi untuk diteliti. Ribuan skripsi dan karya ilmiah telah lahir dengan meneliti pelayanan publik dengan segala kusut masai.
Bukan salah bola pingpong kalau harus diseret-seret ke perkantoran. Seseorang merasa dipingpong jika urusannya tidak kelar-kelar namun harus menemui berbagai orang dengan berbagai karakter.
Sebenarnya pemerintah telah lama mengarusutamakan pelayanan publik yang lebih baik. Dari segi regulasi telah lahir Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2012 yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 yang lahir demi memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Undang-Undang ini meliputi banyak ranah kehidupan seperti pendidikan, pengajaran, pekerjaan, komunikasi, d.s.b. Demikianlah, pemerintah (baca: pelayan) harus terus menerus meningkatkan cara mereka melayani publik. Mereka bahkan telah melakukan inovasi, pelayanan dengan gaya yang benar-benar baru agar publik terpuaskan.
Kebaruan pelayanan mereka bahkan dilombakan segala dalam sebuah kompetisi inovasi pelayanaan publik misalnya. Ada pula yang mencoba mendekatkan diri secara fisik ke sasaran mereka. Misalnya dengan membuka kantor cabang, kantor perwakilan, kantor pembantu atau dengan nama lainnya.
Kini mimpi puluhan tahun silam akan “kantor maya” benar-benar nyata. Misalnya pengurusan sebuah registrasi badan hukum badan usaha milik desa kini tak perlu lagi diurus ke tempat yang jauh, ke pusat pemerintahan. Cukup pendaftaran daring, sepanjang memenuhi syarat, nomor badan hukum sampai di genggaman.
Memang, publik selalun ingin diladeni secepatnya. Para pelayan harus bekerja sekuat tenaga memuaskan mereka di tengah kesibukan mereka yang juga harus memerhatikan urusan keluarga mereka sendiri. Insiden-insiden perdebatan di kantor masih kerap terjadi, apalagi sering direkam dan viral.
Kini para pelayan publik diintai oleh ribuan kamera gawai yang siap merekam tindak-tanduk mereka. Mereka harus semakin berhati-hati melayani publik yang tidak pernah puas!